Selasa, 01 April 2014
Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke
tempat ini. Sesuatu yang terus bertalu-talu demikiannya mendorong
langkahku kembali. Yang tak bisa kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa
berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa yang terangkai. Bahkan
hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap hatiku yang
melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti
tulang-belulang yang ringkih berdiri.
Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun jelmaan dirimu yang masih saja
tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia mau keluar dari
kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang kulakukan
sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya berapa
kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu
diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya
aku selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada
perasaan yang bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali
menertawakan kegagalanku.
Selama tahun-tahun itu berlalu di depan mataku, hampir tak secuil pun
kenangan yang kulupakan atau terlupakan. Aku merasa, apakah perasaanku
ini pantas untuk disebut ‘memperjuangkan’ atau ‘diperjuangkan’? Atau,
aku kah saja yang terlalu tolol?
Tidak bisa kuhakimi siapa yang bersalah, aku, atau kamu? Jika aku,
tolong katakan bila aku terlalu jauh menterjemahkan bahasa hatimu yang
begitu absurd. Tolong katakan bila aku salah menilaimu selama ini.
Tolong katakan. Dan jika kamu, aku ingin menanyakan banyak hal yang
selalu saja membuatku penasaran. Aku ingin kali ini saja kamu
menjawabnya.
Aku mengenalmu, Hei. Meski aku hanya melihat keseharianmu saja dalam
lembar hariku. Tak lebih, namun tak juga kurang. Aku mengenalmu, sebagai
teman dekatku. Tunggu dulu, apa tadi? Teman dekat? Bahkan aku pun tak
tahu apakah kamu akan mengakuiku sebagai teman dekatmu? Aku dan kamu,
memang terlihat dekat. Tetapi hanya kalimat-kalimat canda yang
mengenalkan kita. Kala itu, kita sering bergurau, apapun itu. Leluconmu,
membuat perutku bergoncang tak karuan, hingga aku ingin menangis saking
letihnya aku tertawa. Dengar, Hei. Setelah lama kita meninggalkan
lingkar kehidupan yang tadi, aku selalu merindukan kisah-kisah itu.
Merindukan sesuatu yang mungkin tak akan bisa kembali lagi. Benarkan?
Tak seorang pun yang mampu memutar masa lalu kembali. Dan aku hanya
perlu membiarkan rindu itu tertahan tanpa ucapan. Tersenyum palsu dan
mengatakan bahwa aku telah melupakanmu.
Aku merindukan suaramu, Hei. Yang selalu memanggil namaku kencang.
Yang membuat telingaku harus terpasang merekam suaramu jika kamu
berceloteh. Agar suatu hari jika aku merindukanmu, aku bisa
menerka-nerka suaramu dalam otakku. Bisa mendengar tawamu meski tak akan
nyata kini.
Aku merindukan wajahmu, Hei. Yang kunilai nyaris sempurna. Sempurna,
seperti yang dipujakan perempuan lain. Aku ingin memandangmu lagi,
memandang garis senyum sempurnamu untuk kurekam. Untuk kusimpan lagi
dalam otakku, dan sewaktu-waktu aku bisa memutarnya lagi. Meski aku
harus meraba-raba, tidak jelas.
Sederhana sebetulnya. Aku hanya merindukanmu. Itu saja titik. Tanpa ada koma lagi.
Kini aku terkurung di dalam mobilku. Kosong menatap kap mobil yang
basah karena gerimis. Seperti yang kukatakan di awal. Hanya ada satu
alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Yaitu,
rindu.
Dan waktu menyeretku ke jam yang telah berlalu barusan. Membawa
nostalgia yang nyata. Mempertemukan aku dengan teman-teman lamaku
setelah tiga tahun meninggalkan sekolah ini. Dan dirimu, Hei, ada di
antara ribuan manusia yang berkunjung ke gedung ini.
Aku tidak tahu bagaimana seharusnya, apakah aku harus berterimakasih
pada waktu yang telah mempertemukan kita kembali? Apakah aku harus
tertawa, menghampirimu, memelukmu, bertanya padamu ‘hei apa kabar?’
nyatanya aku tak akan bisa bertingkah seperti itu lagi padamu semenjak
empat tahun yang lalu. Kala itu kita bertransformasi menjadi orang yang
berbeda di mata masing-masing. Akukah yang mencoba menjauh? Ataukah kamu
telah melupakanku? Sejak itu kita hanya saling bertatapan tak mengerti
jika sesekali bertemu. Hanya diam dan mata yang mengisyaratkan hati kita
masing-masing. Menjadi kita yang tidak lagi saling mengenal.
Dan tatapan kaku itu kembali membeku ketika aku menemukanmu di gedung
ini. Kamu menatapku datar. Saat itu detik bereplikasi kembali dalam
satuan yang lebih kecil, memperlambat waktu. Mata itu, yang sering
menatap mataku dulu. Yang jemarinya pernah menghapus airmataku lembut.
Yang senyumnya meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Yang genggaman telapak tangannya menghangatkanku. Aku merindukanmu, Hei.
Gerimis kini telah berevolusi menjadi hujan. Airnya sebesar biji
jagung menghantam kap mobilku, berderu-deru. Aku memutar pandangan ke
sekitar, dari balik jendela. Menatap sekelilingku yang mulai sepi.
Manusia-manusia telah meninggalkan gedung ini satu jam yang lalu. Malam
mulai mengapit lara yang tak berarti apa-apa. Hujan menyebabkan
bintang-bintang malas bermunculan, bersembunyi di balik awan mendung.
Aku menghidupkan mesin mobil, dalam sekejap lampu depan dari mobilku
menyoroti jalanan. Kemudian aku segera tahu, di depan sana dirimu
berdiri di bawah lengkungan payung. Menghindari keganasan dari air
hujan. Membelah tirai hujan. Kamu menoleh untuk tersenyum. Memberikan
kehangatan di tengah lalu lalang angin yang bersahutan lirih. Membuat
siapa saja lepuh. Kamu kembali melangkah, masih mempertahankan senyum
mu. Dan kamu menggenggam tangannya. Menggenggam tangan seorang perempuan
yang kamu cintai dari semenjak empat tahun yang lalu. Perempuan yang
sama. Penyebabku menghindarimu.
Enam tahun, selama itu tak pernah perasaan bodohku terungkap di
hadapanmu. Didengar olehmu. Aku tidak menginginkannya, Hei. Karena satu
alasan, sederhana, aku mencintaimu tetapi kamu mencintainya.
Cerpen Karangan: Rizka Khaerunnisa
Dira tersenyum kagum saat melihat Ares berhasil memasukan bola ke
dalam ring. Dira begitu memperhatikan permainan basket Ares sampai dia
tidak sadar bahwa Alin sudah berada di sampingnya.
“Asyik banget sih, sampe nggak sadar kalau ada gue.” kata Alin
“Hai, Lin, nggak kok ini permainan tim basket sekolah kita makin hebat ya.” sahut Dira
“Tim basketnya atau Aresnya yang hebat?” goda Alin
“Tim basketnya lah, Lin.”
“Sampai kapan sih lo mau nutupin perasaan lo ke Ares, udah 4 tahun lho,
Dir.” Alin seolah mengingatkan Dira tentang rasa cintanya pada Ares.
“Entahlah Lin, mungkin nggak akan pernah gue ungkap. Biar gue simpan
semua ini sendiri aja. Gue cuma pengen seperti bintang, yang selalu ada
meskipun nggak selalu terlihat.”
“Dira… lo udah sering sakit hati karena dia, apa lo nggak ngebutuhin balasan?” Alin tampak heran.
“Rasa cinta gue ke dia besar banget, Lin, sampai gue nggak bisa bedain
antara sakit hati dan cinta. Melihat dia bahagia aja gue udah ikut
seneng kok. Untuk apa sih dia sama gue kalau dianya enggak bahagia.”
jawab Dira tulus.
“Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Dir.” kata Alin akhirnya.
“Lo nggak harus ngerti Lin, lo cukup jaga rahasia ini aja. Udah deh nggak usah ngomongin ini.” pinta Dira.
Alin hanya mengangguk. “Gue akan bantuin lo semampu gue, Dir.” batin Alin.
Siang ini kelas Dira kosong, tanpa tugas. Dira memutuskan pergi ke
perpustakaan seorang diri. Dira memang paling suka membaca buku. Sikap
ini sangat bertentangan dengan sahabatnya, Alin. Jadi Dira selalu pergi
ke perpustakaan tanpa sahabatnya itu.
Dira duduk tepat di sudut kiri perpustakaan setelah selesai mencari
buku yang diinginkannya. Kebetulan perpustakaan sepi saat itu. Suasana
perpustakaan seperti itu yang Dira suka. Dan Dira hanya menempati meja
panjang itu seorang diri. Saat tengah asyik membaca buku, Dira merasa
seperti ada orang yang berjalan ke arahnya. Dira lantas mendongak.
Matanya beradu dengan mata seseorang. Sepersekian detik hanya seperti
itu sampai akhirnya orang itu menyapa Dira lebih dulu.
“Hai Dir, sendirian aja ya, boleh gue duduk di sini?” tanya cowok
berpostur tinggi bernama Ares menunjuk kursi yang ada di hadapan Dira.
“Eh, ehm.. iya nih, duduk aja Res.” jawab Dira tergagap.
“Tumben sendiri, biasanya kemana-mana sama Alin.” kata Ares seraya duduk di hadapan Dira.
“Alin kan anti banget sama perpustakaan, lo sendiri tumben ke perpus.”
“Males aja di kelas, jam kosong gini kalau nggak dimanfaatin kan sia-sia.”
“Iya sih, kelas lo jam kosong juga ya. Kenapa nggak maen basket aja?”
“Enggak deh, Dir, ntar si nenek lampir ngerecokin gue.”
“Nenek lampir? bukan Lala kan yang lo maksud?”
“Ya dia lah, Dir. Siapa lagi coba yang selalu ngekor gue kalau bukan dia.” kata Ares kesal.
“Lho, gue kira kalian pacaran. Selama ini kan kalian selalu barengan terus.” ujar Dira heran.
“Ogah gila’ pacaran sama orang kayak gitu, bukannya cinta tapi malah
ilfeel, Dir. Lagian udah ada seseorang yang ngisi hati gue.” kata Ares
serius.
“Oh gitu, lo pasti cinta banget ya sama dia sampai Lala yang secantik itu aja lo tolak.” suara Dira bergetar.
“Iya gue cinta banget sama dia, tapi sayang gue cuma bisa jadi bintang.
Bintang yang selalu ada tapi nggak selalu nampak di matanya. Walaupun
kebahagiaannya bukan sama gue, tapi gue ikut bahagia kok.” Ares berkata
tulus.
Dira terdiam. “Kenapa ucapan Ares seperti ucapan gue ya?” Dira bertanya dalam hati.
“Dir, kok malah ngelamun sih. Lo nggak papa kan?” Ares menyadarkan Dira.
“Eh, enggak kok. Gue cuma ngebayangin gimana sakitnya lo setiap liat cewek itu jalan sama cowok lain.” dusta Dira.
“Gue cinta banget sama dia, Dir, sampai gue nggak bisa bedain sakit hati sama cinta.”
Dira merasakan matanya mulai memanas. Ucapan Ares begitu terasa di
hatinya. Semua ucapan Ares seperti sebuah parang yang menggores hatinya.
Ucapan Ares seperti sebuah sindiran yang ditujukan padanya.
“Ehm, Res, gue duluan ya.” pamit Dira sebelum air matanya tumpah di depan Ares.
Ares ingin menahan kepergian Dira, namun dia mengurungkan niatnya. Ares menyadari ucapannya telah melukai hati Dira.
Ares memang sengaja mengucapkan semua itu untuk menyadarkan Dira
bahwa Dira harus menunjukkan perasaannya pada Ares. Ares telah
mengetahuai semua rahasia yang disimpan rapat oleh Dira selama 4 tahun
semenjak dia SMP hingga kini dia sudah akan lulus SMA.
Alin telah menceritakan semuanya pada Ares. Alin tidak tega melihat
Dira terus tersiksa dengan perasaan cintanya. Meskipun Dira bilang dia
tidak apa apa tapi Alin sudah beberapa kali memergoki Dira diam-diam
menangis setelah melihat kemesraan Lala dengan Ares. Selama ini Alin
membiarkan Dira menyimpan perasaannya dan berharap Dira akan menunjukkan
perasaannya itu pada Ares sebelum mereka lulus. Namun sampai saat ini
Dira tetap saja tidak menunjukkan rasa cintannya pada Ares. Akhirnya
Alin nekad memberi tahu Ares tentang perasaan cinta yang dipendam Dira
selama 4 tahun padanya. Dan kini Ares sudah mengetahuinya.
Semenjak bertemu dengan Ares di perpustakaan, sikap Dira menjadi
pendiam. Dia selalu menghindar bila bertemu dengan Ares ataupun saat
melihat Ares sedang bersama dengan Lala. Alin merasakan perubahan
sahabatnya itu. Namun Alin membiarkannya.
Dira juga tidak mau melihat pertandingan final tim basket sekolahnya.
Hanya karena Ares menjadi kapten basketnya. Dira ingin melupakan semua
perasaannya pada Ares. Namun semua itu terasa sulit. Ada sesuatu yang
masih mengganjal di hati Dira. Sesuatu yang membuat Dira tidak bisa
melupakan perasaan cintanya begitu saja.
Malam ini adalah malam minggu. Seperti malam-malam minggu biasanya,
Dira hanya diam di kamarnya. Kalau biasanya dia membaca buku, kali ini
tidak. Dira masih memikirkan perasaannya pada Ares. Apakah dia memang
harus melupakan semua cintanya? Sanggupkah Dira melakukannya? Semua itu
membuatnya semakin galau. Tiba-tiba HP-nya bergetar. 1 New Message
tertera pada layar touchscreennya.
from : Ares
Dir, tlg tmenin gw. Plis…
to : Ares
kmna?
from : Ares
Kafe, bwt ngerayain kmenangan tim basket kmrin. Gw udh d dpan rmh lo.
Dira menyibakkan gorden jendela kamarnya. Dan ternyata Ares sudah
bertengger santai di atas motor sportnya. Hhh… Dira menghela nafas
berat. Sebenarnya Dira ingin menolak tapi melihat Ares sudah berada di
depan rumahnya, dia urung menolak. Tanpa membalas SMS dari Ares, Dira
segera bersiap-siap.
Bukannya mengajak Dira ke kafe seperti yang ditulis pada SMSnya tadi,
Ares malah mengajak Dira mengelilingi pusat kota. Di sebuah bukit yang
dihiasi dengan banyak lampion Ares menghentikan laju motornya. Dari atas
bukit itu mereka bisa melihat bintang dengan jelas. Untuk beberapa saat
mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kok ke sini, katanya mau ke kafe?” tanya Dira memecah keheningan.
“Gue males ke sana, pasti ada Lala. Semakin hari semakin muak gue sama
tingkahnya.” jawab Ares. Dira hanya mengangguk. Mereka kembali terdiam.
“Dir…” panggil Ares.
“Ya.” jawab Dira.
“Mau sampai kapan kayak gini?” tanya Ares tanpa menatap Dira.
“Maksud lo?” Dira balik bertanya, bingung dengan pertanyaan Ares.
Ares justru diam tanpa menjawab pertanyaan Dira. Melihat Ares tidak
bereaksi, Dira pun ikut diam. Hening. Lagi-lagi hanya keheningan yang
tercipta.
Ares kembali buka suara. “Mau sampai kapan lo jadi seperti
bintang-bintang itu?” tanya Ares menunjuk taburan bintang di langit,
“selalu ada walaupun nggak selalu nampak?”
“Gue nggak ngerti sama omongan lo, Res.” Dira pura-pura.
“Lo ngerti kok, kenapa sih lo lebih seneng nyakitin hati lo sendiri dari
pada nunjukin perasaan lo ke gue kayak cewek-cewek lain, kayak Lala
misalnya. Kenapa Dir?” Ares menatap Dira.
“Lo udah tahu ya, pasti Alin kan? Hh…” Dira menghela nafas, “gue punya
cara sendiri buat mencintai lo. Lo suka bintang dan gue pengen jadi
seperti bintang. Selalu ada meskipun lo nggak selalu liat gue. Yang
penting gue bisa selalu liat lo. Buat gue semua itu udah cukup bikin gue
seneng, Res.” jelas Dira berkaca-kaca.
“Lo tahu nggak Dir, gue ngerasa bersalah dan nyesel banget saat Alin
cerita semua tentang lo. Selama ini gue deket sama beberapa cewek dan
seneng-seneng sama mereka. Tapi tanpa gue sadar, gue udah bikin hati
salah satu cewek yang selalu baik sama gue remuk. Hancur berantakan.”
kata Ares penuh penyesalan.
“Lo nggak boleh ngerasa kayak gitu, Res. Lo nggak salah sama sekali.
Semua ini kemauan gue sendiri. Dan sekarang kan lo udah tahu, gue udah
seneng kok. Mulai saat ini lo nggak perlu mikirin perasaan gue lagi
karena mulai malam ini juga gue akan lupain perasaan gue ke lo selama
ini.” Dira mengucapkannya dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Kok lo seenaknya gitu sih, Dir. Lo pikir gue akan biarin cewek yang
udah gue sakitin dan gue cintai selama ini pergi gitu aja? Dan lo pikir
cuma lo doang yang jadi seperti bintang-bintang itu? Gue juga Dir, gue
cowok pengecut yang nggak berani ungkapin cinta sama lo selama 4 tahun!”
kata Ares keras.
“Ares, ja.. jadi selama ini lo…”
“Iya, gue juga cinta sama lo selama 4 tahun ini. Gue kira dengen deket
sama beberapa cewek bisa buat gue lupain perasaan gue ke lo. Tapi
nyatanya gue nggak bisa, gue semakin tersiksa dengan perasaan yang gue
pendam. Dan saat gue mau ungkapin semua ke lo, gue lihat lo lagi deket
sama Ryan. Akhirnya gue nggak pernah ungkap perasaan gue ke siapapun
sampai Alin cerita perasaan lo ke gue.” potong Ares.
“Gue emang sempet deket sama Ryan tapi perasaan gue ke lo terlalu kuat,
nggak ada yang bisa memudarkan cinta gue sama lo.” Dira menyeka air
matanya.
“Gue tahu… sorry ya udah bikin hati lo terluka.”
“Gue juga, sorry udah bikin lo kesiksa.”
“Dir, sekarang di bawah cahaya bulan dan di bawah tatapan
bintang-bintang di langit malam ini, aku pengen kamu jadi bintang di
hatiku. Bintang yang akan selalu bersinar dan terus nampak di hatiku
kapanpun. Nggak peduli siang atau malam, nggak peduli panas atau dingin.
Berapapun jumlah bintang yang ada di langit, seterang apapun mereka,
aku nggak peduli. Cuma kamu satu-satunya bintang yang paling terang buat
aku. Kamu mau kan jadi bintangku selamanya?” Ares menggenggam tangan
Dira erat.
Dira kembali meneteskan air mata. Bukan air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan. Serasa mimpinya menjadi kenyataan.
“Kamu serius kan, Res, bukan karrna kasihan sama aku?” tanya Dira memastikan.
“Bukan cuma serius bahkan seratusrius, Dir. Percaya sama aku. Aku akan
bahagiain kamu. Kata-kataku tadi bukan gombal atau sebatas rayuan.”
jawab Ares mantap.
“Gimana, Dir?” tanya Ares tak sabar.
“Aku rasa, aku udah nggak bisa lagi nahan perasaanku ke kamu.” jawab Dira.
“Maksud kamu, Dir?”
“Ya, aku mau jadi bintang di hati kamu selamanya.”
“Makasih, Dir.” Refleks Ares memeluk Dira, “Aku janji bakal jagain kamu, nggak akan aku biarin kamu berhenti bersinar.”
Ares melepaskan pelukannya. Dia menatap Dira dalam. Keduanya lalu tersenyum.
“Sekarang jadi aku – kamu ya?” kata Dira menyandarkan kepalanya di bahu Ares.
“Nggak papa biar kedengaran romantis.” ujar Ares seraya membelai rambut Dira.
Malam itu Ares dan Dira menghabiskan malam minggu berdua di bukit
yang mereka namakan bukit bintang sambil mengamati indahnya hamparan
bintang yang bersanding dengan bulan di langit. Tanpa mempedulikan
teman-teman Ares yang tengah menunggu sang kapten untuk merayakan
kemenanngan tim basketnya.
Bintang itu kini tidak lagi bersembunyi, bintang itu kini akan selalu ada dan selalu nampak. Di hati Ares dan Dira tentunya.
- END -
Cerpen Karangan: Dera